Ketika Jurnalisme memancing diskusi di ruang publik digital

Belakangan ini, warganet yang bermukim di platform twitter sering berdiskusi terkait judul maupun isi berita yang ditulis oleh jurnalis media online. Hal ini terjadi saat jurnalisme kini telah terkonvergensi dan mampu diakses melalui platform manapun. Bahkan kini, diskusi di ruang publik dapat tercipta bahkan tanpa membaca produk jurnalisme secara utuh, karena berita disajikan melalui media sosial. Bagaimana implikasi konvergensi terhadap jurnalisme dan khalayak?

Diskusi di akun twitter cnnindonesia
Diskusi di akun twitter cnnindonesia

Tulisan ini disarikan dari jurnal berjudul “Converged conversations: A case study of journalism and digital commentary in the public sphere” ini merupakan jurnal terbitan Sage Publication pada tahun 2015 dengan segmen Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies halaman 1–16. Ditulis oleh Edgar Simpson perwakilan dari Central Michigan University, USA

Khalayak di ruang publik digital yang terkonvergensi

Jurnal ini secara garis besar membahas tentang bagaimana era konvergensi telah memberikan empat kondisi baru pada khalayak yang terkonvergensi. Kondisi tersebut adalah respon yang antusias, yang mampu menciptakan kemungkinan dialog. Kedua jurnalis yang membuat masyarakat lebih sadar akan sebuah peristiwa. Ketiga, cukup banyak khalayak massa yang berkomentar dan menciptakan perdebatan. Dan terakhir, saluran yang dapat memfasilitasi terjadinya debat. Simpson menggambarkan proses ini mewakili apa yang dicetuskan Habermas sebagai ruang publik atau public sphere. Sebuah ruang yang dimana khalayak dapat saling berinteraksi melalui banyak saluran, membawa perbincangan mereka pada era baru ruang publik, sebuah era perbincangan konvergensi. Namun studi yang dilakukan Simpson ini menggarisbawahi sebuah pola berbeda. Pola perbincangan ruang publik digital ini adalah dimulai saat jurnalis memberikan perhatian khusus pada sebuah peristiwa, dan dengan kemampuannya jurnalis memberikan sebuah ruang. Namun saat ruang tersebut telah terbentuk, khalayak lah yang memegang peran.

Tesis yang dibawa oleh Simpson adalah sebuah studi kasus yang menghubungkan antara industri berita yang mulai terkonvergensi dan peningkatan partisipasi khalayak. Studi dilakukan dengan menggunakan dua level analisis. Analisa pertama melalui kacamata jurnalis, dan kedua melalui kacamata khalayak. Eksplorasi dimulai dengan mengetahui apa peran jurnalis pada ruang publik ini, jika ada apakah peran yang diambil dalam dialog antara khalayak; kedua apakah medium dialog ini menjadi faktor penting; dan bagaimana dan seperti apa khalayak menggunakan konten yang disediakan oleh seorang jurnalis untuk memancing dialog dengan khalayak lainnya. Pendekatan yang dilakukan Simpson merujuk pada Jenkins (2008) yang menjabarkan konvergensi teknologi dan ekonomi untuk sebuah ide dimana khalayak berkomunikasi dalam ruang publik yang kemudian disebut sebagai konvergensi budaya. Simpson juga setuju dengan pemikiran Jenkins yang melihat era konvergensi sebagai sebuah peluang untuk berfokus pada kekuatan produsen media dan kekuatan konsumen untuk berinteraksi melalui cara yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Ruang publik yang belum seindah bayangan Habermas

Namun ternyata hasil dari penelitian ini tidak seperti yang dibayangkan dimana akan muncul ruang publik baru sesuai dengan kondisi yang dibayangkan Habermas sebelumnya. Pada penelitian ini, komentar yang kemudian muncul nyatanya sebanyak apapun akan tetap mempertimbangkan faktor struktur. Dimana menurut Habermas, sebuah aksi komunikasi tidak mungkin diperhitungkan secara kuantitas, maka kualitas percakapan lah yang akan menjadi penentu efek yang ditimbulkan dari diskusi ruang publik tersebut. Dalam penelitian ini nyatanya, tidak begitu memberikan dampak. Komentar yang muncul justru memperlihatkan bahwa khalayak hanya mengomentari topik tertentu yang mereka suka, dan anggota diskusi saling merajut setiap perbincangan dengan potongan berita lain. Studi juga menemukan bahwa khalayak menggunakan media untuk menciptakan sendiri cerita mereka sebagai bagian dari apa yang disajikan jurnalis pada mereka. Paling penting, hasil menunjukan bahwa meskipun ada alur informasi lintas platform, yang membuat adanya penggiringan opini dari satu media ke media lain, studi justru menemukan bahwa opini tersebut akan tetap bergantung pada sedalam apa pemberitaan yang disajikan oleh jurnalis.

Jika kemudian peran jurnalis menjadi sangat penting dalam penelitian ini, maka mungkin teori agenda setting yang lebih relevan membahas fenomena komentar di media. Dimana walaupun terjadi proses timbal balik, media masih cukup kuat untuk menyebarkan agenda tertentu. Sejalan dengan penelitian (Golan & Wanta, 2001), melihat adanya agenda setting level kedua. Dimana meskipun pada era konvergensi media tidak sekuat dahulu sehingga dapat menentukan sikap khalayak terhadap sebuah isu. Di era konvergensi, agenda setting level dua berfokus pada membentuk atribut yang melekat pada sebuah isu.

Kesimpulan

Dengan kata lain, sesuatu terjadi kemudian jurnalis akan memutuskan memberikan perhatian pada peristiwa tersebut atau tidak, lalu khalayak tertarik dan menghasilkan perbincangan. Menghasilkan sebuah perubahan cerita, atau setidaknya ada potensi perubahan yang mungkin terjadi.

Sayangnya studi ini terbatas pada beberapa hal. Misalnya hasilnya yang disebutkan berfokus pada segmen tertentu dan hasilnya belum dapat digeneralisasi. Di masa depan Simpson menyarankan untuk mengeksplorasi media sosial seperti Facebook dan Twitter yang mungkin saja menawarkan pola lain dapat diskusi yang muncul.

1 thought on “Ketika Jurnalisme memancing diskusi di ruang publik digital”

  1. Pingback: Communication Skills adalah -

Comments are closed.